Seminggu yang lalu Dira sakit lagi. Dan lagi-lagi bikin panik.
Kenapa? Ceritanya begini:
Hari Minggu Dira ikut mengantar Mama seminar Money Money Money di Oriflame Bulungan. Gak ikutan masuk sih karena Dira bersama Wak Buduk dan mbak Mis main di arena bermain Blok M Plaza.
Minggu malam menjelang tidur badan Dira mulai terasa hangat. Hari Senin pagi, suhu badannya tetap hangat tetapi hanya di bagian kepala.
“Kepalanya Dira hangat nih mbak. Kayaknya mau demam lagi. Kalau ntar siang temperaturnya di atas 38,5, kasih obat demam seperti biasa yah.” pesan Mama Poet ke mbak Mis sebelum berangkat kerja.
Ternyata, Senin siang suhu tubuh Dira naik menjadi 38,7 derajat. Kondisi Dira juga masih normal karena seperti kebiasaannya, begitu demam turun dia akan langsung bermain tanpa henti.
Menjelang tengah malam menuju hari Selasa, suhu tubuh Dira mendadak naik lagi. 39,7 derajat Celcius. Bikin panik!
Bagaimana tidak? Selama ini kalau Dira demam range suhu tubuhnya paling 38,3 – 38,9 derajat. Ini mendadak mendekati 40 derajat. Ada perasaan takut kalau terjadi kejang demam sehingga bolak-balik periksa suhu di kepala dan kaki. Kalau kakinya mulai dingin, buru-buru dikasih minyak angin biar hangat.
Hari Selasa dengan terpaksa Dira ditinggal kerja. Sekolahnya diliburkan oleh Mama. Dan menurut laporan mbak Mis, Dira masih demam dan suhu tubuh di atas 39 derajat.
Setelah mengalami malam yang melelahkan karena Dira tidak bisa tidur dan minta digendong saat demam, akhirnya Rabu pagi suara Dira mulai serak. “Ah, ternyata mau batuk toh.” pikirku. “Bagus deh keluar penyakit jadi bisa legaan dikit dan gak tebak-tebakan.”
Rabu pagi itu berhubung Mama bangun terlambat, mendadak timbul penyakit “M” (alias malas) sehingga bertanya ke Dira, ” Mama hari ini kerja atau di rumah saja temani Dira?” Dan jawabannya? “Di lumah ajalah.” Akhirnya Mama ambil cuti 1 hari.
Sepanjang hari itu, Dira menempel terus sama Mamanya. Kayak amplop dan perangko dilem pakai Aica Aibon. Tiap beberapa menit kalau Mamanya tidak kelihatan, pasti dia langsung teriak, “Mama! Mama!” Pppffhh… nih anak… Tapi positifnya sih selama Mama di rumah, entah kenapa suhu tubuh Dira tidak meninggi lagi. Masih hangat sih tapi tidak beranjak lebih dari 38 derajat. Dira pun mulai batuk-batuk.
Melihat kondisi Dira yang mulai membaik, Mama pun memutuskan untuk masuk kerja di hari Kamis. Namun, menjelang siang mbak Mis menelpon dan kasih laporan kalau Dira panas tinggi lagi. “Aduh!” pikirku, “Kenapa yah Dira? Kayaknya batuknya sudah keluar, tapi kenapa panasnya masih tinggi yah? Aduhhhh! Kenapa gak menuruti saran temanku buat langsung cek darah di hari kedua yah? Kenapa sih Mamanya ini masih pakai pedoman standar baru akan periksa darah kalau masih panas hari ke-5. Mana hari gini lagi musim DBD. ” Pokoknya segala macam pikiran dan rasa bersalah membayangi sisa jam kerja.
Akhirnya menjelang jam kerja berakhir aku buat keputusan untuk mengunjungi dokter anak langganan. Akhirnya telpon Klinik Anakku untuk booking nomor antri dan mbak Mis untuk menyiapkan Dira ke dokter. Alhamdulillah kami diijinkan untuk konsultasi terlebih dahulu dan tidak mengikuti nomor antrian.
Dan, seperti biasa, dokter anak langgananku ini bilang, “Besok hari ke-5 kan Bu? Kalau masih panas, langsung cek darah ke Prodia yah. Saya cuma kasih resep obat batuknya dan obat demam Ibuprofen kalau pakai Paracetamol tidak turun lagi.” Aku mengangguk setengah lega. Yah setidaknya caraku dalam menangani demam masih rasional dan tidak terpengaruh rasa panik.
Hari Jumat pagi ternyata Dira masih panas tinggi sehingga pukul 10 kita langsung bergegas ke Prodia. Hmm, Mamanya cuti lagi deh.
Dira menangis kencang saat diambil darah di Prodia. Rupanya letak pembuluh darah Dira tidak lurus seperti biasa, namun agak menyerong sehingga menyulitkan saat jarum suntik diarahkan. Gak tega dengarin tangisannya. Apalagi Dira menangis juga berucap, “Udah… udah… nanan agi… udah Ma!” Aduh, rasanya hati ini teriris pisau tajam. Jadi ingat saat dia menangis sama kencangnya sewaktu mau diinfus.
Akhirnya, 3 jam setelah pengambilan darah, hasil lab keluar. Trombosit turun drastis. Hematokrit juga, namun tidak drastis. Leukosit turun. Immunoglobulin test untuk Anti-Dengu IgG dan IgM negatif.
Setelah laporan ke dokter lewat telpon, hari Sabtu kita disuruh kembali berkonsultasi kembali. Sementara menanti hari itu, Dira dipaksa untuk makan dan minum cairan sebanyak mungkin. Pokoknya sepanjang sisa hari Jumat, hati was-was banget. “Aduh Pa! Sulit sekali jadi decision maker terus kalau anak sakit.” jeritku dalam hati.
Papa Poet itu selalu menyerahkan keputusan akhir di Mama kalau urusan Dira sakit. Apalagi karena Papa sekarang nun jauh di Paiton dan tidak bisa lihat kondisi Dira langsung. Jadi yah Mama lagi… Mama lagi… hiksss…
Sabtu pun tiba. Kita, lagi-lagi, dapat antrian awal. Jarang-jarang loh ke dokternya Dira dapat nomor awal. Soalnya Mamanya selalu daftar mendadak kalau mau imunisasi.
Setelah konsultasi, dokter memutuskan bahwa Dira tidak perlu cek darah lagi. “Virus kok Bu. Bukan DBD. Saya gak perlu kasih obat lagi yah. Antibiotik juga gak perlu kan.” ujar dokter. “Cuma yah asupan cairannya diperbanyak yah. Selama masih bisa dirawat di rumah sih, gak usahlah opname.” lanjut dokter lagi.
Yipiiiee!!! Alhamdulillah!
I really like this doctor. Never rush to give the patient with antibiotic. Never rush to send patient to be hospitalized.
Hmm, kebayang deh kalau aku bawa hasil lab Dira ke Hospital Cinere. Dijamin pasti langsung disuruh opname.
Akhirnya, setelah ditemani Mama selama 4 hari, Dira berangsur-angsur sembuh. Yah walaupun selama 4 hari itu Mamanya jadi stress karena tiap menit diabsen terus dan diminta menggendong Dira terus. Dira juga minta nenen berulang kali.
Hehe, jadi mikir… “Gimana yah kalau mamanya pensiun beneran dan sudah di rumah terus? Bisa-bisa gak masak, gak nyuci, gak makan, dan gak ngerjain apa pun kecuali kasih Dira nenen.
“Mama! Celitanya mau bobok!” (maksud kalimat ini adalah “Aku mau nenen Ma!”)
Filed under: Cerita Mama | Tagged: Batuk, DBD, sakit | 1 Comment »